Tradisi Rebo Wekasan

Penasaran dengan Rebo Wekasan? Begini Sejarah & Makna Rebo Wekasan di Situs Pangeran Pasarean

Sunan Gunung Jati memutuskan melindungi mereka dan memberikan uang untuk bekal bertahan hidup.

Penulis: Ahmad Imam Baehaqi | Editor: Machmud Mubarok
Tribuncirebon.com/Ahmad Imam Baehaqi
Sejumlah warga saat ngirab atau mandi di Sungai Cipager dalam rangkaian tradisi rebo wekasan di Situs Makam Pangeran Pasarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Rabu (14/10/2020). 

Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Ahmad Imam Baehaqi

TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON - Tradisi rebo wekasan digelar di Situs Makam Pangeran Pasarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, Rabu (14/10/2020).

Kuncen Situs Makam Pangeran Pasarean, R Hasan Ashari, mengatakan, tradisi tersebut berlangsung sejak ratusan tahun lalu.

Menurut dia, rebo wekasan digelar pada Rabu terakhir bulan Safar dalam penanggalan Hijriyah.

Baca juga: Tradisi Rebo Wekasan di Situs Makam Pangeran Pasarean Cirebon, Berebut Uang Tawurji dan Makan Apem

Baca juga: Bolehkah Memperingati Rebo Wekasan yang Dipercaya Turun Bencana? Begini Penjelasan Ustaz Abdul Somad

"Tradisi ini ada sejak era Wali Sanga, dan memang tidak lepas dari pengaruh ajaran Islam," kata R Hasan Ashari saat ditemui seusai kegiatan.

Ia mengatakan, seluruh rangkaian tradisi rebo wekasan juga mempunyai makna dan sejarah tersendiri.

Misalnya, tawurji atau membagikan uang koin kepada masyarakat yang disebut warga Cirebon sebagai surak.

Tawurji sendiri berasal dari dua suku kata. Yakni tawur yang berarti melempar uang, dan aji artinya tuan haji atau orang yang mampu.

"Tawurji ini bermula dari upaya perlindungan terhadap murid Syekh Lemah Abang yang dianggap sesat," ujar R Hasan Ashari.

Kala itu, Sunan Gunung Jati memutuskan melindungi mereka dan memberikan uang untuk bekal bertahan hidup.

Peristiwa itu bertepatan doa bersama yang digelar di Bangsal Paseban Keraton Kanoman pada Rabu terakhir di bulan Safar.

Kini, tawurji dianggap sebagai sedekah agar terhindar dari malapetaka yang turun selama bulan Safar.

Pasalnya, Allah Swt menurunkan 320 ribu malapetaka ke bumi pada bulan Safar.

Karenanya, doa-doa pun dipanjatkan saat tawurji berlangsung. Bahkan, sebelumnya salat hajat berjemaah juga dilaksanakan.

Usai tawurji, warga pun ngirab atau mandi bersama di Sungai Cipager yang berada persis di belakang Situs Makam Pangeran Pasarean.

"Isim Kala Caka disimpan di aliran sungai sebelum digunakan mandi oleh masyarakat," kata R Hasan Ashari.

Hasan menyampaikan, Isim Kala Caka merupakan janur kelapa yang dipercaya sebagai jimat pusaka penangkal jin.

Selain itu, Isim Kala Caka juga dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit.

Tradisi mandi di sungai itu dimulai sejak masa Sunan Kalijaga sering berkhalwat di wilayah Cirebon.

Saat itu, Cirebon dilanda pagebluk atau wabah penyakit, sehingga Sunan Kalijaga menyimpan Isim Kala Caka di Sungai Drajat, Kota Cirebon.

Sunan Kalijaga pun meminta warga yang terjangkit pagebluk untuk mandi di Sungai Drajat.

Mereka pun secara ajaib sembuh dari penyakit yang menjangkitinya setelah mandi di sungai yang diberi Isim Kala Caka tersebut.

Menurut Hasan, Isim Kala Caka merupakan janur yang diberi tulisan huruf arab, Jaa (datang) dan Nuur (cahaya).

"Maksudnya melalui Isim Kala Caka itu menjadi media tawasul datangnya cahaya atau rahmat Allah Swt," ujar R Hasan Ashari.

Di Situs Makam Pangeran Pasarean sendiri kegiatan ngirab atau mandi bersama dimulai sejak enam tahun lalu.

Namun, mandi bersama itu tidak dilaksanakan di Sungai Drajat, tetapi di Sungai Cipager yang berada di belakang situs.

Dalam tradisi rebo wekasan di Situs Makam Pangeran Pasarean, warga yang mandi bersama juga langsung doa bersama setelahnya.

Doa bersama itu tentunya dipanjatkan untuk menolak bala dan malapetaka yang turun di bulan Safar.

Setelah seluruh rangkaian tradisi rebo wekasan dilaksanakan, para pengurus tampak membagikan makanan khas Cirebon, apem.

Sejumlah tamu undangan juga terlihat duduk santai sambil menyantap apem yang dibuat pengurus situs.

Hasan menyampaikan, apem sendiri mengandung filosofis agar ucapan dan tingkah laku sehari-hari selalu manis sesuai rasa gula merah cair yang disantap bersama apem.

"Inti dari tradisi ini adalah meningkatkan silaturahmi, mengharap keberkahan dunia dan akhirat, serta menjaga warisan budaya," kata R Hasan Ashari.

Sumber: Tribun Cirebon
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved