Human Interest Story
Kisah Anak Nelayan Putus Sekolah di Indramayu, Bukan Karena Faktor Biaya, Demi Bisa Melaut ke Papua
Usaha pembuatan miniatur perahunya mulai terasa hidup saat PT Pertamina (Persero) RU-VI Balongan merangkul usahanya sebagai CSR pada tahun 2017 lalu.
Penulis: Handhika Rahman | Editor: Fauzie Pradita Abbas
Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Handhika Rahman
TRIBUNCIREBON.COM, INDRAMAYU - Di tengah kebisingan mesin gerinda, sendok makan yang terbuat dari limbah kayu itu terus digosok, ada puluhan hingga ratusan sendok setengah jadi yang masih harus dikerjakan.
Sendok-sendok itu mesti dihaluskan sebelum benar-benar bisa digunakan dan nantinya dikirim kepada pemesan.
Siang itu, ada dua orang anak yang tengah membantu Darmin (37) di rumah produksi usaha kerajinan kayu miliknya di Kampung Nelayan Modern Desa Karangsong, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Jumat (25/9/2020).
Mereka adalah Fahmi Agustin dan Irsan, keduanya sama-sama masih berusia 13 tahun. Mereka ikut bekerja demi mendapat upah untuk sekedar bisa jajan.
Perlu diketahui, kedua anak itu adalah satu dari sekian banyak anak nelayan yang putus sekolah di Kabupaten Indramayu. Fahmi Agustin baru lulus SD tahun kemarin, sedangkan Irsan memilih tidak sekolah sama sekali.
Di usaha milik Darmin inilah keduanya biasa menghabiskan waktu seharian untuk bekerja dengan upah Rp 50 ribu per hari.
"Ora papa (tidak apa-apa)," ujar Irsan saat ditanyai alasannya tak ingin sekolah kepada Tribuncirebon.com.
Lain halnya dengan Fahmi Agustin. Ia justru mengaku tak ingin melanjutkan SMP karena berkeinginan jadi nelayan dan melaut sampai ke laut Papua, keduanya pun tampak malu-malu saat diajak berbincang.
Darmin mengatakan, fenomena anak putus sekolah bagi anak nelayan memang bukan hal yang asing. Di Kampung Nelayan Modern Karangsong saja contohnya, ada sebanyak lima anak putus sekolah.
Sebelumnya, jumlah mereka jauh lebih banyak, mencapai 20 orang. Tapi sebagian sudah bisa mandiri, mereka kini memiliki kesibukannya sendiri menjadi nelayan bersama para nelayan lainnya di kampung setempat.
"Karyawan saya memang kebanyakan anak-anak yang putus sekolah, ada juga yang suka nongkrong, untuk ngilangin kegiatan nongkrongnya itu biar kalau nongkrong di sini kan bermanfaat, lumayanlah buat jajan mereka," ujar dia.
Darmin mengakui, fenomena tersebut memang cukup memprihatinkan. Terlebih alasan para anak nelayan memilih putus sekolah bukan karena masalah ekonomi seperti yang biasanya terjadi di kota-kota besar.
Mayoritas dari mereka beralasan ingin bekerja di usia muda, walau sebenarnya keluarga mereka masih mencukupi untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Penghasilan dari hasil melaut yang diperoleh sanak saudara maupun tetangga sesama nelayan membuat para anak itu tergiur bekerja ketimbang sibuk menempuh pendidikan hingga jenjang paling tinggi.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/cirebon/foto/bank/originals/irsan-dan-fahmi.jpg)