Presiden Jokowi Pecat Komisioner KPU, PTUN Malah Membatalkan, Evi Novida Diminta Balik Lagi ke KPU
Hukuman yang dijatuhkan kepada Evi lebih berat dibanding komisioner lainnya lantaran Evi dinilai bertanggung jawab dalam teknis penyelenggaraan pemilu
2. Bergantung Presiden
Dihubungi secara terpisah, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad menyebut bahwa meskipun SK Presiden terbit atas putusan DKPP, tindak lanjut dari Putusan PTUN bergantung pada langkah Presiden ke depan.
Sebab, obyek gugatan perkara adalah Surat Keputusan Presiden, bukan putusan DKPP.
"Ya (bergantung pada langkah Presiden)," kata Muhammad saat dikonfirmasi, Kamis (23/7/2020).
"Obyek gugatan adalah keputusan Presiden, yang diputuskan PTUN adalah mengoreksi putusan Presiden," kata dia.
Muhammad berpandangan, SK Presiden mengenai pemecatan Evi masih berlaku hingga ada putusan inkrah atas putusan PTUN. Sebab, masih ada upaya banding yang bisa ditempuh.
Namun demikian, menurut Muhammad, kewenangan banding ada di tangan Presiden. "(Banding) bergantung Presiden," ujar dia.
Muhammad menyampaikan, Presiden perlu meluruskan putusan PTUN tersebut. Sebab, atas kesepakatan bersama pemerintah dan DPR, desian kelembagaan DKPP telah dirumuskan dalam Undang-Undang Pemilu sebagai peradilan etika.
DKPP beri wewenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu. Oleh karenanya, kata Muhammad, vonis DKPP bersifat final mengikat.
"Terhadap amar putusan PTUN yang mengoreksi vonis DKPP pemberhentian menjadi rehabilitasi perlu diluruskan oleh presiden sebagai representasi pemerintah yang ikut merumuskan noma UU tentang kelembagaan DKPP," kata dia.
3. Awal perkara
Perkara ini bermula ketika pertengahan Maret 2020 lalu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui putusan Nomor 317/2019 memecat Evi Novida Ginting Manik sebagai Komisioner KPU.
Evi dinilai melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam perkara pencalonan anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat daerah pemilihan Kalimantan Barat 6 yang melibatkan caleg Partai Gerindra bernama Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon.
Hendri Makaluasc menduga bahwa perolehan suaranya pada pileg berkurang karena telah digelembungkan ke caleg Gerindra lainnya, Cok Hendri Ramapon.
Atas hal tersebut, Hendri menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Namun demikian, pasca-terbitnya putusan, Hendri menuding bahwa KPU tak menjalankan putusan MK dan Bawaslu karena hanya mengoreksi perolehan suaranya tanpa ikut mengoreksi perolehan suara Cok Hendri Ramapon.