Sejarah

KESAKSIAN Ajudan Soekarno soal Supersemar, Kekuasaan Sang Proklamator Makin Lemah, Soeharto Berjaya

Seiring dengan hilangnya kekuasaan yang dulunya dimiliki, kehidupan Sukarno atau Bung Karno pun mulai berubah secara drastis.

Penulis: Fauzie Pradita Abbas | Editor: Fauzie Pradita Abbas
Istimewa
Ir Soekarno 

TRIBUNCIREBON.COM - Terbitnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar 1966 membuat situasi politik nasional berubah.

//

Pasca Supersemar, kekuasan Soekarno atau Bung Karno sebagai presiden, berangsur-angsur memudar.

Hingga akhirnya, pasca Supersemar itu, kekuasaan Soekarno atau Bung Karno sepenuhnya berpindah tangan ke Presiden Soeharto.

Seiring dengan hilangnya kekuasaan yang dulunya dimiliki, kehidupan Soekarno atau Bung Karno pun mulai berubah secara drastis.

Dilansir TribunJabar.id dari Kompas.com, mantan ajudan Soekarno, Sidarto Danusubroto, menceritakan kisah hidup sang proklamator pasca Supersemar.

Diceritakan oleh anggota kepolisian yang menjadi ajudan terakhir Bung Karno ini, masa peralihaan kekuasaan berjalan panjang.

Kala itu, Sidarto bertugas mengawal Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia hanya pada 6-20 Februari 1967, hanya dua pekan.

Setelahnya, kekuasaan beralih kepada Jenderal Soeharto.

Meski kekuasaan telah beralih ke Soeharto, Sidarto tetap menjadi ajudan Bung Karno yang statusnya "presiden nonaktif".

Dalam berbagai kegiatan, Sidarto tetap mendampingi Soekarno.

Bahkan, Sidarto menyaksikan ketika Soekarno tak diperbolehkan masuk ke Istana.

Padahal, kala itu Soekarno baru kembali dari berkeliling Jakarta, sekitar Mei 1967.

Didampingi Sidarto, saat itu Soekarno, menyantap sate ayam di pinggir pantai Priok atau Cilincing, Jakarta Utara.

Sejak pertengahan tahun 1967 itu, Soekarno dikenai status tahanan kota.

Dia menetap di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala, Jakarta).

Kesulitan Soekarno setelah Supersemar tak berhenti sampai di situ.

Sidarto, dalam buku Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno yang ditulis Asvi Warman Adam, mengungkapkan, bahwa Soekarno semakin tidak berdaya.

Tak hanya tak mendapat kejelasan mengenai pembayaran gaji, Soekarno juga tak menerima kejelasan soal uang pensiun seorang presiden.

Hingga akhirnya, Sang Proklamator kehabisan uang untuk pegangan atau sekadar untuk menutup keperluan hidup selama menjadi tahanan kota di Wisma Yaso.

Dikatakan Sidarto, kala itu bahkan Soekarno memintanya mencarikan uang.

"Ini tidak mudah karena saat itu orang takut berhubungan dengan Soekarno," ujar Sidarto.

Akhirnya, Sidarto diminta Soekarno untuk menemui mantan pejabat rumah tangga Istana Merdeka, Tukimin.

Uang tunai 10.000 dollar AS berhasil diperoleh Sidarto dari Tukimin.

Namun, untuk memberikan uang itu kepada Soekarno, Sidarto harus mencari cara agar lolos dari pemeriksaan penjaga.

Saat itu, Wisma Yaso tempat Soekarno tinggal, dijaga ketat oleh penjaga.

Terpaksa, Sidarto meminta bantuan putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri.

Uang yang telah dimasukkan ke dalam kaleng biskuit, lalu diantarkan Megawati Soekarnoputri kepada ayahnya.

"Megawati yang mengantarkannya, dan bisa lolos," kata Sidarto.

Sidarto, selama menjadi ajudan Soekarno, juga sempat menyaksikan beberapa upacara kenegaraan.

Salah satu upacara kenegaraan yang disaksikan Sidarto, adalah proses penyerahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno kepada Soeharto pada 20 Februari 1967.

Secara de facto dan de jure, sejak saat itu, kekuasaan berpindah dari Soekarno ke Soeharto.

Tak hanya tak mendapatkan uang dari negara, semua fasilitas kenegaraan untuk Soekarno juga dibatasi.

Bahkan, untuk sekadar pemeriksaan kesehatan pun, fasilitas untuk Soekarno dibatasi.

Hingga akhirnya, Soekarno dikenai tahanan rumah dan dibatasi aktivitasnya termasuk untuk bertemu keluarga.

Saat kondisi kesehatan Soekarno yang semakin menurun, Sidarto ditarik dari posisinya sebagai ajudan Soekarno oleh Polri Pada 23 Maret 1968.

Kala itu, dokter disebut lebih dibutuhkan ketimbang ajudan.

Dilansir TribunJabar.id dari Historia.id, sejarawan Bob Hering dalam Soekarno Arsitek Bangsa mengatakan, untuk membesuk Soekarno, keluarga dan kerabat saja kesulitan.

“Bahkan, keluarga dan kerabatnya pun sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang,” katanya.

Tak hanya itu, Gubernur DKI Jakarta dua periode (1966-1977), Ali Sadikin juga pernah menengok Soekarno di Wisma Yaso.

Dia mengungkapkan, bahwa keadaan tempat tinggal itu kotor, kotor sekali.

"Kebunnya tidak diurus. Di dalam ruangan di rumah itu debu di mana-mana. Padahal Bung Karno sangat menyukai kebersihan, sangat tidak senang dengan kekotoran. Jangankan pada kekotoran yang begitu tampak dan bertumpuk, debu sedikit pun tidak beliau senangi. Beliau sangat teliti, mencintai keindahan dan kebersihan.”

“Saya menjadi amat sedih. Pikiran saya, kok, mengapa tega-teganya orang terhadap beliau, sampai beliau –pemimpin bangsa itu– diperlakukan seperti itu. Saya yakin, beliau pasti menderita. Apakah itu disengaja? Masa’ ada yang sengaja berbuat begitu?” kata Ali dalam Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH.

Pada 21 Juni 1970, Soekarno akhirnya meninggal dunia.

Sumber: Tribun Cirebon
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved