Pilpres 2019
Permohonan Ditolak MK, Prabowo: Kami Serahkan Sepenuhnya Kebenaran yang Hakiki pada Allah SWT
Meski kecewa, Prabowo memastikan dirinya akan patuh terhadap konstitusi.
TRIBUNCIREBON.COM - Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mengaku menerima dan menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan yang diajukannya bersama Sandiaga Uno dalam sengketa Pilpres.
Meski kecewa, Prabowo memastikan dirinya akan patuh terhadap konstitusi.
"Kami menyatakan, kami hormati hasil keputusan MK tersebut. Kami serahkan sepenuhnya kebenaran yang hakiki pada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa," ujar Prabowo dalam jumpa pers di kediamannya, Jalan Kertanegara, Jakarta, Kamis (27/6/2019).
Dalam jumpa pers ini, Prabowo turut didampingi oleh calon wakil presiden 02 Sandiaga Uno beserta sejumlah petinggi partai koalisi Adil Makmur.
• Jokowi: Tidak Ada Lagi 01, 02, yang Ada Hanya Persatuan Indonesia
Adapun Prabowo menyadari, putusan MK itu telah menimbulkan kekecewaan termasuk di kalangan pendukungnya.
"Walaupun kami mengerti keputusan itu sangat mengecewakan bagi kami, dan para pendukung Prabowo-Sandiaga Uno. Namun sesuai kesepakatan, kami akan tetap patuh dan ikuti jalur konstituisi kita yaitu UUD 1945 dan sistem perundangan yang berlaku," kata Prabowo.
Selain itu, Prabowo berterima kasih kepada seluruh pendukungnya yang sudah ikhlas mendoakan dan membantunya selama pelaksanaan pemilihan presiden lalu.
Dianggap Tak Bisa Berikan Bukti
Sebelumnya, klaim kubu Prabowo-Sandiaga Uno yang menang Pilpres 2019 dengan perolehan suara sebanyak 52 persen atau 68,65 juta suara ditolak majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang akhir sengketa Pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (27/6/2019).
Hakim MK memberikan alasan kubu Prabowo-Sandiaga Uno tak bisa memberikan bukti bagaimana penghitungan suara itu bisa dilakukan.
Untuk diketahui, versi hitungan tim Prabowo-Sandiaga Uno, pasangan capres 01 Jokowi-Maruf Amin memperoleh suara sebanyak 63,57 juta atau 48 persen.
Sementara berdasarkan hasil hitung KPU, pasangan Jokowi-Maruf Amin berhasil meraih sekitar 85,6 juta suara (55,5 persen) suara.
Sementara Prabowo-Sandiaga Uno hanya meraup sekitar 68,65 juta suara (44,5 persen).
• LIVE STREAMING dan Jadwal Brazil vs Paraguay & Venezuela vs Argentina di 8 Besar Copa America 2019
"Dalil pemohon a quo tak beralasan menurut hukum," kata Hakim MK Arief Hidayat saat membaca pertimbangan putusan.
MK menilai Prabowo-Sandiaga Uno tak bisa menunjukkan bukti yang cukup bagaimana perolehan suara versi mereka itu bisa didapat.
Arief menguraikan, pemohon melampirkan bukti berupa fotokopi berita acara pemeriksaan, sertifikat rekapitulasi penghitungan suara serta rekapitulasi formulir C1.
Namun, setelah MK mencermati, pemohon tak melampirkan bukti rekapitulasi yang lengkap untuk seluruh TPS.
Hasil C1 yang dilampirkan juga merupakan hasil foto atau fotokopi, bukan hasil C1 resmi yang diserahkan ke saksi pemohon.
"Dalil pemohon tidak lengkap dan tak jelas dimana terjadinya perbedaan hasil penghitungan suara."
• Song Hye Kyo Bakal Kehilangan Uang dari Iklan Karena Berita Perceraiannya Dengan Song Joong Ki
"Pemohon juga tak membuktikan dengan alat bukti yang cukup untuk meyakinkan mahkamah," kata Arief."
"Selain itu, MK juga menyebut pemohon tak bisa membuktikan, apakah saksi pemohon mengajukan protes perbedaan selisih suara ini saat rekapitulasi berjenjang oleh KPU.
Tak hanya itu, MK mempertanyakan dalil permohonan Prabowo-Sandiaga Uno yang membandingkan hasil suara Pilpres 2019 dengan DPD di beberapa daerah.
Majelis Hakim juga menyinggung argumen ahli yang dibawa tim hukum Prabowo-Sandiaga Uno, Jaswar Koto, mengenai hal itu.
• Respons Kebutuhan Pasar, Universitas Padjadjaran Buka 8 Program Studi Baru
Adapun tim hukum Prabowo-Sandiaga Uno mempersoalkan perbedaan suara sah Pilpres dan DPD di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur yang berbeda jauh.
"Setelah Mahkamah memeriksa, kenapa pemohon memilih hasil pemilihan DPD dan gubernur sebagai angka pembanding dengan Pilpres?"
"Padahal dalam konteks pemilu serentak, tidak ada alasan untuk tidak menggunakan hasil pemilihan DPR di masing provinsi," ujar Hakim Arief Hidayat.
Arief mengatakan, dalam konteks pemilu serentak, hasil Pilpres tidak bisa dibandingkan dengan pileg DPD.
Sebab, kedua jenis pemilu tersebut berada pada tingkatan berbeda
Pemilih pada pileg DPD hanya berasal dari provinsi tersebut, sedangkan Pilpres tidak.
Seharusnya, hasil Pilpres dibandingkan dengan pileg DPR yang sama-sama tingkat nasional.
"Ketika pertanyaan ini diajukan ke ahli pemohon Jaswar Koto, secara sederhana yang bersangkutan menyebut tidak memiliki data mengenai hasil pemilu DPR."
"Padahal semua data dari hasil pemilu serentak tersedia sebagaimana halnya ketersediaan data Pilpres dan pileg DPD," kata Arief.
Menurut Majelis Hakim, alasan Jaswar Koto yang tidak memiliki data hasil pileg DPR untuk dibandingkan tidak beralasan.
Majelis Hakim juga beranggapan pendapat ahli Jaswar Koto meruntuhkan argumen tim hukum Prabowo-Sandiaga dalam gugatannya.
"Menyebabkan seluruh bangunan argumentasi ahli pemohon sulit dipertahankan."
"Akibatnya hal itu berlaku pada dalil pemohon yang di dalam pemohonannya menggunakan logika yang persis sama dengan logika yang diajukan oleh ahli pemohon," ujar Arief.